Tuan Kebun Budiman Si Peneropong Bintang
Hingga saat ini cerita tentang tuan kebun, nyaris selalu terdengar buruk dalam sejarah perkebunan di Hindia Belanda. Faktanya memang kebanyakan tuan kebun pada masa Hindia Belanda memperlakukan kuli perkebunan dengan sangat kejam. Tidak hanya kuli perkebunan, kaum pribumi lainnya juga turut mendapatkan perlakuan yang tidak pantas. Namun ada satu tuan yang sangat baik. Seseorang yang peduli dengan kaum pribumi. Dia kaya raya, tetapi kekayaan yang dia punya hanya dikelola untuk kesejahteraan kaum pribumi di daerah tempat tinggalnya. Bahkan saat beliau meninggal, semua pribumi yang mengenalnya menangisi kepergiannya. Juga makam beliau masih dirawat oleh pribumi sampai detik ini serta dibuat menjadi tempat wisata.
Tuan kebun itu bernama Karel Albert Rudolf Bosscha atau yang dikenal dengan sebutan tuan Bosscha, ialah tuan kebun yang menyayangi dan disayangi kaum pribumi. Sebagian orang di Bandung, Lembang dan Pangalengan tahu bahwa Bosscha yang kaya-raya karena perkebunan dan pabrik tehnya di Malabar, Pangalengan, adalah sosok tuan kebun dermawan.
Bosscha telah mendirikan sekolah dasar vervoolgschool untuk anak-anak petani di kebunnya, menyumbang untuk membangun kampus ITB dan membangun observatorium Bosscha yang terkenal di Bandung. Bosscha termasuk salah satu pendukung politik etis yang diterapkan di Hindia Belanda sejak 1900. Salah satu butirnya terkait pembangunan pendidikan untuk orang-orang pribumi. Meski sekolah dasar yang dibangun derajatnya di bawah sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa atau para pembesar kala itu, akan tetapi tak banyak orang Belanda yang seperti sosok Bosscha yang peduli pada sekelilingnya.
KAR Bosscha adalah putra dari fisikawan Belanda Prof Dr J Bosscha Jr dan ibunya Paulina Emilia Kerkhoven. Ayahnya pernah jadi direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. Sebagian masa mudanya sempat diisi dengan kuliah teknik sipil, meski tidak lulus. Laki-laki kelahiran s-Gravenhage 15 Mei 1865 ini berlayar ke Jawa di usia 22 tahun.
Menurut buku All About Tea (2016) karya Willem Ulkers, Bosscha berlayar di Desember 1887. Dia ditampung pamannya, Eduard Julius Kerkhoven, yang sudah mengelola perkebunan di Sinagar, dekat Sukabumi. Ia sempat juga ke Kalimantan Barat, mencari kemungkinan eksplorasi emas. Namun, pada 1892 dia kembali lagi ke pamannya, ikut mendirikan dan menjadi pengawas dari perusahaan telepon di Priangan. Dia lalu membangun perkebunan di Malabar, di Pangalengan, pada 1896. Tak hanya kebun teh saja tapi kemudian melengkapi dengan laboratorium dan pabriknya.
Sumber: tourbandung.id
“Di bawah pengawasan K. A. R Bosscha, Pangalengan, sebagai lahan perkebunan teh
yang dapat memproduksi teh yang berkualitas dan mampu bersaing dengan teh dari
Cina, India dan Srilangka,” kata Sejarawan Jawa Barat Ahmad Mansur Suryanegara
dalam bukunya Pemberontakan
Tentara Peta di Cileunca, Pangalengan (1996).
Bisnis teh membuat Bosscha kaya raya tapi tetap jadi sosok yang dermawan.
Sekolah di dalam kebunnya dan kampus penting di Jawa Barat dia juga ikut bantu
pembangunannya. Salah satu sumbangannya kepada sekolah tinggi teknik pertama di
Indonesia adalah sebuah ruangan kuliah yang dikenang sesuai namanya: Ruang
Bosscha. Dengan uangnya yang berlimpah dia juga bisa mewujudkan obsesinya akan
observasi bintang.
“K.A.R. Bosscha, raja teh, salah satu orang Belanda terkaya di koloni itu.
Bosscha tinggal di pekarangannya di Malabar, sebuah bukit dekat Bandung dan
Lembang,” tulis Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi
dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).
Menurut Rudolf Mrazek, demi obsesinya pada ilmu perbintangan, pertengahan
1920-an, Bosscha mewujudkan sebuah tempat yang dikenang terus menerus. “Sudah
membawa sejumlah mesin yang menakjubkan ke bukit itu.”
Bukit yang dimaksud adalah bukit yang kini menjadi observatorium Bosscha,
Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat. Menurut Her Suganda, bukit itu semula milik
keluarga Ursone, yang kaya sebagai pengusaha susu di Lembang. Bukit itu berada
di kaki Gunung Tangkuban Perahu, dengan ketinggian 1.300 di atas permukaan
laut, berudara sejuk dan tenang kala itu. Observatorium Bosscha
merupakan salah satu tempat peneropongan bintang tertua di Indonesia.
Sumber:
Wikipedia.com
Bosscha dan kolega-koleganya mulai mengusahakan pembelian beberapa teropong
bintang raksasa, yang sangat mahal harganya, dari Jerman. Mereka membeli
peralatan mewah kala itu di tengah hancurnya ekonomi Jerman yang telah
dipecundangi dalam Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles.
Mrazek mencatat, mimpi besar Bosscha adalah membangun observatorium terbaik di
bumi belahan selatan. “Pengamatan bintang-bintang di Lembang segera sama
populernya dengan perjalanan penerbangan udara, kereta api dan perjalanan
darmawisata udara,” tulis Mrazek dalam bukunya.
Konstruksi Observatorium Bosscha dimulai pada tahun 1923. Pada tahun 1925 program pengamatan sudah dimulai dengan instrumen yang ada. Carl Zeiss membutuhkan waktu tujuh tahun untuk membuat dan mengantarkan teleskop 60 cm, yang tiba pada tahun 1928. Voûte berkutat dengan kalibrasi teleskop besar tersebut selama dua tahun berikutnya hingga ia puas dengan kinerjanya. Semenjak tahun 1923, Voûte mulai mengundang astronom-astronom Belanda untuk bekerja di observatoriumnya.
Publikasi internasional pertama Observatorium Bosscha dilakukan pada tahun 1933. Namun kemudian observasi terpaksa dihentikan─begitu juga dengan lembaga ilmiah di Hindia Belanda lainnya─karena terjadi Perang Dunia II. Setelah perang usai, dilakukan renovasi besar-besaran pada observatorium ini karena kerusakan akibat perang hingga akhirnya observatorium dapat beroperasi dengan normal kembali.
Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda, jatuh ke tangan Kekaisaran Jepang sebagai dampak dari Perang Dunia II. Pada 1942 kekuatan militer mereka tiba di Jawa dan dengan cepat menggantikan pegawai pemerintahan kolonial dengan pejabat berkebangsaan Jepang atau Indonesia. Bosscha adalah salah satunya. Voûte pun kemudian bekerja di bawah kewenangan Masashi Miyaji ketika melakukan observasi bintang kembar. Dukungan kepada bidang astronomi dan biologi di Hindia Belanda mengacu pada ideologi politik Kekaisaran Jepang, yaitu Asia Raya. Ideologi ini bercita-cita menciptakan modernitas Asia dengan gaya Jepang sebagai tandingan dari modernitas Barat.
Sumber: goodnewsfromindonesia.id
Kemudian pada tanggal 17 Oktober 1951, NISV menyerahkan observatorium ini kepada pemerintah RI. Setelah Institut Teknologi Bandung (ITB) berdiri pada tahun 1959, Observatorium Bosscha kemudian menjadi bagian dari ITB. Dan sejak saat itu, Bosscha difungsikan sebagai lembaga penelitian dan pendidikan formal Astronomi di Indonesia. Majalah terbitan Balai Poestaka, Pandji Poestaka edisi 5 Oktober 1928 mencatat bahwa Dewan Kotapraja Bandung, dalam sidangnya memutuskan Karel Albert Rudolf Bosscha sebagai warga utama dari Kotapraja Bandung. Bosscha dianggap telah memberi sumbangan besar bermanfaat bagi Kota Bandung. Setidaknya, Bosscha telah memberikan tanah seluas 25.000 meter persegi di belakang rumah sakit Juliana untuk kankerinstituut (institut kanker).
Sumber: beritatagar.id
Selama hidupnya, Bosscha memilih untuk tidak menikah. Pada akhir hayatnya, karena kecintaannya pada Malabar, dia meminta agar jasadnya disemayamkan di antara pepohonan teh di Perkebunan Teh Malabar.
Peninggalannya
berupa kebun teh dan fasilitasnya seperti pabrik, pusat listrik tenaga
mikrohidro, perumahan karyawan serta tempat tinggalnya hingga kini masih
dipelihara PT Perkebunan Nusantara VIII..
Observatoriumnya, meski sudah sangat terganggu dalam melihat bintang oleh
banyaknya pemukiman, tetap menjadi observatorium terkenal di Indonesia. Nama
Bosscha pun tetap melekat semenjak kematiannya 26 November 1928.
Sumber:
risetmandiritirto.id
wikipediabosscha.com
karelalbertrudolfbosscha.com
goodnewsfromindonesia.id
mooibandoeng.com
beritatagar.id
tourbandung.id
Ditulis oleh: Yearta Kurnia Zalifah